Dunia Fauna – Di hamparan sabana Afrika Selatan pada abad ke-19, pernah hidup seekor zebra unik yang membingungkan para ilmuwan. Hewan itu bernama Quagga, spesies dengan setengah tubuh bergaris seperti zebra dan setengah lainnya polos menyerupai kuda. Pemandangan ini membuat banyak orang dulu berpikir Quagga hanyalah hasil perkawinan aneh antarspesies. Namun kenyataannya, Quagga merupakan subspesies asli zebra dataran selatan yang hidup dalam kawanan besar di padang rumput gersang.
Bagi saya, kisah Quagga bukan hanya tentang hewan yang punah, melainkan tentang bagaimana manusia sering kali terlambat memahami nilai keanekaragaman sebelum semuanya menghilang.
“Baca juga: Vaquita Lumba-Lumba Kecil dari Teluk California yang Hampir Punah“
Yang membuat Quagga begitu menarik adalah tampilannya yang unik dan kontras. Bagian depan tubuhnya menampilkan pola garis hitam-putih khas zebra, tetapi bagian belakang berwarna cokelat polos tanpa garis sama sekali. Transisi antara dua pola itu begitu halus sehingga tampak seperti hasil seni alam yang luar biasa.
Namun, keanehan itu juga menimbulkan kebingungan ilmiah. Selama bertahun-tahun, para peneliti berdebat apakah Quagga adalah spesies tersendiri atau hanya variasi zebra biasa. Baru pada akhir abad ke-20, melalui analisis DNA, ilmuwan menyimpulkan bahwa zebra separuh loreng ini adalah subspesies zebra dataran (Equus quagga quagga) yang berevolusi karena faktor lingkungan.
Quagga dahulu hidup di wilayah Cape Province dan Orange Free State di Afrika Selatan. Mereka mendiami padang rumput semi-kering yang luas, hidup berkelompok dalam kawanan kecil berisi beberapa ekor jantan dan betina. Hewan ini memiliki perilaku sosial yang erat dan selalu menjaga kebersamaan saat mencari makan.
Pola hidupnya sederhana merumput, berlari cepat ketika merasa terancam, dan beradaptasi dengan perubahan musim. Menariknya, zebra separuh loreng ini dikenal lebih tenang dibanding zebra biasa, sehingga sering kali menjadi target perburuan karena dianggap mudah ditangkap.
Kisah tragis Quagga dimulai pada akhir 1800-an ketika perburuan besar-besaran terjadi di Afrika Selatan. Hewan ini diburu untuk diambil kulitnya dan dijadikan bahan pakaian, sementara dagingnya dijual untuk konsumsi. Dalam waktu singkat, populasi zebra separuh loreng ini menurun drastis.
Pada tahun 1883, zebra separuh loreng ini terakhir mati di kebun binatang Amsterdam. Dunia pun kehilangan salah satu makhluk paling unik yang pernah berjalan di muka bumi. Bagi saya, kepunahan zebra separuh loreng ini adalah pengingat betapa cepatnya manusia bisa menghancurkan sesuatu yang luar biasa hanya demi keuntungan sesaat.
Menariknya, meski zebra separuh loreng ini telah punah, kisahnya belum benar-benar berakhir. Pada tahun 1987, ilmuwan Afrika Selatan meluncurkan The Quagga Project, sebuah program ambisius untuk “menghidupkan kembali” zebra separuh loreng ini melalui seleksi genetik zebra yang memiliki pola serupa.
Melalui generasi demi generasi, hasilnya mulai terlihat. Beberapa zebra kini menunjukkan pola tubuh yang menyerupai zebra separuh loreng ini garis-garisnya lebih sedikit di bagian belakang dan warna tubuhnya lebih cokelat. Walau bukan Quagga asli, usaha ini menunjukkan bahwa teknologi dan dedikasi manusia bisa menjadi jembatan menuju rekreasi spesies yang hilang.
“Baca juga: Elang Jawa Sang Garuda yang Menjadi Lambang Negara“
Kehadiran Quagga di masa lalu memainkan peran penting dalam ekosistem sabana Afrika. Sebagai pemakan rumput alami, mereka membantu menjaga keseimbangan vegetasi dan mencegah padang rumput menjadi terlalu lebat atau kering. Hilangnya zebra separuh loreng ini memberi efek domino pada lingkungan mulai dari perubahan komposisi tumbuhan hingga menurunnya keanekaragaman fauna lokal.
Dari sudut pandang ekologis, zebra separuh loreng ini bukan hanya simbol estetika, tetapi juga penjaga alami siklus kehidupan di padang Afrika.
Bagi saya, kisah Quagga adalah cerminan dari kesalahan manusia terhadap alam. Kita sering kali baru menghargai sesuatu ketika sudah tiada. Kini, dengan berbagai proyek konservasi dan penelitian genetika, zebra separuh loreng ini menjadi simbol penebusan kesalahan dan harapan baru bagi upaya pelestarian satwa liar.
Melalui cerita ini, manusia diajak untuk merenungkan kembali arti keseimbangan. Jika satu spesies bisa hilang karena keserakahan, bayangkan betapa rapuhnya kehidupan di planet ini tanpa kesadaran untuk menjaga.
Meski tubuhnya tak lagi berlari di sabana, semangat Quagga tetap hidup dalam penelitian, dokumentasi, dan kesadaran manusia akan pentingnya pelestarian alam. Hewan ini menjadi simbol bahwa keindahan sejati alam tidak hanya terletak pada warna dan bentuk, tetapi juga pada keberagaman dan keharmonisan hidup di dalamnya.
Quagga mungkin sudah tiada, tetapi kisahnya terus menjadi pengingat bahwa setiap makhluk, sekecil apa pun perannya, memiliki arti besar bagi keseimbangan dunia.