
Dunia Fauna – Di antara kabut tebal hutan pegunungan Sumatra, hidup seekor mamalia misterius bernama Serow Sumatra (Capricornis sumatraensis sumatraensis). Hewan ini sering disebut “kambing gunung Asia Tenggara” karena bentuk tubuhnya menyerupai perpaduan antara kambing dan rusa. Namun, keberadaannya kini semakin langka. Dalam pandangan saya, Serow Sumatra bukan sekadar satwa endemik, melainkan simbol rapuhnya keseimbangan ekosistem pegunungan tropis Indonesia. Menyelamatkannya berarti menjaga warisan alam yang menjadi rumah bagi banyak spesies penting lainnya.
“Baca juga: Empat Jenis Ikan Belida yang Dilindungi Pemerintah, Jangan Salah Tangkap!“
Serow Sumatra memiliki penampilan tangguh dengan tubuh padat berotot dan bulu hitam keabu-abuan yang tebal untuk melindungi diri dari suhu dingin pegunungan. Tanduknya melengkung ke belakang, tajam dan simetris, menjadi senjata utama saat mempertahankan wilayah. Menurut saya, daya tahan Serow yang luar biasa di medan curam adalah bukti adaptasi evolusioner yang mengagumkan. Mereka mampu memanjat tebing berbatu dengan gesit, sesuatu yang jarang dimiliki mamalia besar lain di Sumatra.
Hewan ini hidup di kawasan pegunungan tinggi Sumatra bagian barat, terutama di area hutan tropis yang lembap seperti Leuser, Kerinci Seblat, hingga Bukit Barisan Selatan. Serow berperan penting sebagai pengatur vegetasi alami, membantu menjaga keseimbangan pertumbuhan tumbuhan di lereng-lereng gunung. Dalam konteks ekologi, keberadaannya membantu mencegah dominasi spesies tanaman tertentu yang dapat mengganggu struktur hutan. Saya melihat peran ini serupa dengan “tukang kebun liar” yang tanpa disadari membantu regenerasi alam.
Sayangnya, Serow Sumatra kini berada di ambang kepunahan. Perburuan liar untuk diambil daging, tanduk, dan kulitnya menjadi ancaman utama. Selain itu, alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan pertambangan mempersempit habitat alami mereka. Berdasarkan laporan IUCN Red List, populasi Serow terus menurun setiap dekade. Dalam pandangan saya, ancaman ini bukan hanya soal hilangnya satu spesies, melainkan alarm bahwa ekosistem pegunungan Indonesia sedang berada dalam bahaya serius.
Konflik antara Serow dan manusia kerap terjadi di wilayah hutan yang berdekatan dengan permukiman. Ketika sumber makanan di alam menipis, hewan ini sering turun ke ladang penduduk untuk mencari tanaman muda. Akibatnya, Serow dianggap hama oleh sebagian masyarakat lokal. Padahal, masalah ini sebenarnya berakar dari degradasi hutan akibat eksploitasi manusia. Saya percaya solusi terbaik bukan dengan memburu, melainkan dengan memperkuat program konservasi berbasis masyarakat agar manusia dan satwa bisa hidup berdampingan.
“Baca juga: Naga Amfibi Langka dari Meksiko: Upaya Penyelamatan Salamander Achoque di Danau Pátzcuaro“
Pemerintah Indonesia melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) telah melarang perburuan Serow. Namun, pengawasan di lapangan masih menghadapi tantangan besar, terutama di daerah terpencil. Organisasi seperti Flora & Fauna International dan WWF Indonesia turut mendukung penelitian serta program pelestarian habitat. Menurut saya, langkah penting berikutnya adalah memperkuat kolaborasi antara ilmuwan, masyarakat adat, dan pemerintah daerah agar konservasi tidak berhenti di atas kertas.
Menariknya, beberapa komunitas adat di Sumatra memandang Serow sebagai simbol kekuatan dan ketahanan hidup. Dalam beberapa cerita rakyat, hewan ini dianggap penjaga hutan yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Saya melihat nilai budaya ini bisa menjadi jembatan untuk mengembalikan kesadaran konservasi. Ketika masyarakat merasa memiliki hubungan spiritual dengan satwa, mereka cenderung melindunginya dengan penuh hormat.
Serow Sumatra bukan hanya bagian dari kekayaan hayati Indonesia, tetapi juga indikator kesehatan ekosistem gunung tropis. Kehilangannya bisa memicu rantai ketidakseimbangan yang berdampak luas. Dalam pandangan saya, melindungi Serow berarti menjaga masa depan hutan Sumatra yang menjadi sumber air, udara bersih, dan kehidupan bagi jutaan makhluk. Harapan saya sederhana: semoga suatu hari, suara langkah Serow di lereng gunung tidak hanya menjadi legenda yang diceritakan di buku sejarah, tetapi tetap hidup di hutan-hutan kita.