Anoa Dataran Rendah (Kiri) dan Anoa Gunung (Kanan)
Dunia Fauna – Anoa, hewan khas Sulawesi yang mirip kerbau mini, terbagi menjadi dua spesies utama: Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan Anoa gunung (Bubalus quarlesi). Meski serupa sekilas, keduanya memiliki perbedaan signifikan dari segi habitat, morfologi, dan perilaku. Sayangnya, kedua jenis Anoa ini kini berada dalam status terancam punah akibat perburuan dan kerusakan habitat.
Anoa dataran rendah memiliki tubuh yang sedikit lebih besar dibandingkan kerabatnya dari pegunungan. Kulitnya cenderung lebih gelap dan licin, dengan bulu yang jarang. Ciri paling mencolok dari spesies ini adalah tanduknya yang tebal dan melengkung ke belakang, serta tubuhnya yang bisa mencapai tinggi sekitar 90 cm dengan berat 150–300 kg.
Biasanya, anoa jenis ini menghuni hutan tropis dataran rendah hingga ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Karena itu, mereka sering ditemukan di wilayah pesisir Sulawesi yang masih memiliki kawasan hutan lebat.
“Baca juga: Imam Al-Ghazali: Filsuf Islam yang Mengguncang Dunia Barat“
Berbeda dengan saudaranya, Anoa gunung memiliki tubuh yang lebih kecil dan bulu yang lebih lebat. Hal ini disebabkan oleh adaptasi terhadap lingkungan pegunungan yang lebih dingin dan lembap. Tingginya berkisar antara 60–70 cm, dengan berat mencapai 150 kg.
Tanduk Anoa gunung juga lebih ramping dan sedikit melengkung, menjadi ciri pembeda penting dari Anoa dataran rendah. Mereka hidup di ketinggian antara 1.000 hingga 2.300 meter, terutama di kawasan hutan montana Sulawesi.
Seiring berkembangnya pembangunan dan pembukaan lahan untuk pertanian, habitat alami Anoa semakin terdesak. Deforestasi di Sulawesi menjadi ancaman utama bagi kelangsungan hidup kedua spesies ini. Selain itu, perdagangan satwa liar dan perburuan tradisional turut memperparah kondisi mereka di alam.
Padahal, anoa memegang peranan penting dalam ekosistem hutan sebagai pemakan tumbuhan bawah, yang membantu regenerasi vegetasi secara alami. Ketika populasinya menurun drastis, keseimbangan ekosistem pun ikut terganggu.
Sebagai respons atas ancaman ini, berbagai lembaga konservasi dan pemerintah Indonesia telah menetapkan Anoa sebagai satwa yang dilindungi. Bahkan, status mereka masuk dalam daftar Appendix I CITES dan Endangered menurut IUCN Red List.
Program penangkaran dan edukasi publik juga digalakkan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga Anoa. Di beberapa taman nasional seperti Lore Lindu dan Bogani Nani Wartabone, populasi Anoa terus dipantau dan dilindungi secara intensif.
Tidak bisa dipungkiri, pelestarian Anoa hanya akan berhasil jika masyarakat lokal dilibatkan secara aktif. Oleh karena itu, program konservasi berbasis komunitas menjadi solusi yang menjanjikan. Dengan memberikan insentif ekonomi melalui ekowisata atau pertanian berkelanjutan, masyarakat bisa menjadi penjaga habitat alaminya.
Selain itu, edukasi sejak dini di sekolah-sekolah tentang pentingnya keanekaragaman hayati juga bisa menjadi cara jangka panjang untuk menjaga kelangsungan spesies endemik seperti Anoa.
Anoa dataran rendah dan Anoa gunung adalah warisan alam Sulawesi yang luar biasa. Meskipun terancam punah, harapan untuk menyelamatkan mereka masih terbuka lebar. Dengan kerja sama antara pemerintah, LSM, dan masyarakat lokal, pelestarian Anoa bisa menjadi kisah sukses konservasi satwa liar Indonesia di masa depan.