Dunia Fauna – Tuatara Selandia Baru sering disebut sebagai “fosil hidup”, sebuah makhluk yang tidak hanya tua dari segi usia spesies, tetapi juga menyimpan petunjuk evolusi yang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan modern. Menariknya, reptil ini berasal dari garis keturunan Rhynchocephalia, kelompok yang pernah mendominasi Bumi lebih dari 200 juta tahun lalu, sebelum akhirnya seluruh kerabatnya punah bersama para dinosaurus. Namun, berbeda dari spesies lain yang runtuh oleh seleksi alam, tuatara justru bertahan. Bahkan, hingga hari ini, ia terus hidup tenang di pulau-pulau kecil Selandia Baru. Bagi saya pribadi, kehadirannya bukan hanya keajaiban ekologi tetapi juga simbol ketangguhan hidup yang bertahan melawan waktu. Dengan begitu, tidak berlebihan jika banyak ahli menyebutnya sebagai salah satu makhluk paling penting dalam dunia konservasi modern.
“Baca juga: Mengungkap Alasan Mengapa Kucing Selalu Mengikutimu ke Kamar Mandi: Antara Kasih Sayang dan Rasa Penasaran“
Karakter Fisik Unik yang Membuatnya Berbeda dari Reptil Lain
Tuatara Selandia Baru memiliki ciri fisik yang sering disangka mirip kadal, padahal secara genetika, ia jauh berbeda. Panjang tubuhnya dapat mencapai 80 sentimeter, sementara bobotnya berkisar satu kilogram, membuatnya tampak gagah meski bergerak perlahan. Selain itu, tuatara memiliki ciri khas berupa “mata ketiga” sebuah struktur fotosensitif kecil di bagian atas kepala yang berfungsi mengatur ritme biologis tubuh. Walaupun tidak dapat melihat seperti mata biasa, organ ini membantu mengukur cahaya serta menjaga keselarasan metabolisme. Bagi peneliti biologi evolusioner, struktur ini adalah bukti nyata bahwa tuatara adalah peninggalan masa purba yang masih menyimpan anatomi nenek moyang reptil. Karena itu, tidak mengherankan jika ilmuwan sering menganggapnya sebagai “jendela menuju masa Jurassic”.
Perilaku Malam yang Menjadi Kunci Kelangsungan Hidupnya
Berbeda dari banyak reptil yang bergantung pada sinar matahari, tuatara justru lebih aktif pada malam hari. Pilihan ritme hidup ini diperkirakan sebagai adaptasi terhadap lingkungannya di Selandia Baru, di mana suhu relatif rendah sepanjang tahun. Selain itu, aktivitas malam juga membuatnya lebih bebas berburu serangga, kadal kecil, dan burung laut muda tanpa banyak kompetitor. Dalam sudut pandang ekologis, strategi ini sangat cerdas. Ia memaksimalkan kesempatan mencari makan sambil meminimalkan kemungkinan menjadi mangsa. Namun, pola hidup yang lambat dan penuh perhitungan ini juga menjadi alasan mengapa tuatara sangat rentan terhadap perubahan iklim serta predator baru yang tidak pernah ada pada masa evolusinya.
Pertumbuhan Lambat dan Usia Panjang yang Hampir Tak Masuk Akal
Salah satu fakta yang paling memukau adalah usia panjang tuatara. Banyak individu dapat hidup hingga 100 tahun, bahkan beberapa tercatat menyentuh usia 120 tahun dalam kondisi terpantau. Pertumbuhan tubuhnya pun sangat lambat bahkan setelah mencapai kematangan seksual, tuatara masih terus tumbuh hingga usia 35 tahun. Dari perspektif biologis, ini adalah pola pertumbuhan yang sangat jarang ditemukan pada reptil modern. Namun, proses biologis yang lambat tersebut juga memiliki konsekuensi serius. Reproduksi tuatara termasuk yang paling lambat di dunia karena betina hanya bertelur setiap 2–5 tahun. Menurut saya, inilah alasan mengapa masa depan spesies ini sangat membutuhkan dukungan manusia: satu gangguan kecil saja dapat mengubah keseimbangan populasi secara drastis.
“Baca juga: Macan Tutul Jawa: Sang Predator Terakhir yang Terancam Punah“
Hubungan Tuatara dengan Lingkungan Asli Selandia Baru
Tuatara Selandia Baru hidup secara alami di ekosistem yang sangat spesifik pulau-pulau kecil yang nyaris bebas predator. Sebelum manusia datang, pulau-pulau ini dipenuhi burung-burung darat besar, dan tidak ada mamalia pemangsa sama sekali. Namun, semuanya berubah dengan kedatangan tikus, kucing liar, dan musang yang dibawa manusia. Sejak saat itu, populasi tuatara mengalami penurunan tajam. Bahkan, beberapa pulau kehilangan tuatara sepenuhnya. Untuk saya pribadi, ini menunjukkan fakta pahit: bahwa spesies purba ini bukan kalah melawan evolusi, tetapi kalah melawan ancaman modern yang tidak pernah menjadi bagian dari sejarah evolusinya. Oleh karena itu, konservasi habitat menjadi faktor paling penting dalam menjaga keberlangsungan tuatara.
Upaya Konservasi yang Menentukan Masa Depannya
Beruntungnya, pemerintah Selandia Baru melakukan tindakan cepat pada akhir abad ke-20 dengan menghapus predator dari pulau-pulau tertentu dan memindahkan tuatara ke kawasan yang lebih aman. Program ini terbukti sangat berhasil. Saat ini, beberapa ratus populasi baru telah tumbuh secara stabil, meskipun ancaman perubahan iklim masih mengintai. Misalnya, suhu tanah memengaruhi jenis kelamin tukik tuatara semakin panas, semakin banyak jantan yang lahir. Jika ketidakseimbangan ini berlanjut, populasi tuatara bisa menurun drastis. Untuk itu, ilmuwan kini mulai meneliti solusi seperti pengaturan suhu sarang atau pemindahan telur ke habitat yang lebih sejuk. Dalam pandangan saya, konservasi tuatara adalah bukti bahwa teknologi modern dan kebijaksanaan tradisional dapat berjalan beriringan untuk menyelamatkan spesies purba.
Tuatara dalam Perspektif Budaya dan Ilmu Pengetahuan Modern
Bagi masyarakat Māori, tuatara memiliki makna khusus sebagai penjaga pengetahuan kuno. Simbol ini sering muncul dalam legenda yang menghubungkan tuatara dengan dunia roh dan masa lampau. Penduduk Selandia Baru memandangnya sebagai makhluk yang patut dihormati, bukan ditakuti. Sementara itu, dalam dunia sains, tuatara menjadi subjek penelitian genetik, anatomi, dan perilaku yang sangat berharga. DNA-nya yang kompleks dan unik membantu ilmuwan memahami bagaimana spesies dapat bertahan melewati beberapa kepunahan massal. Menurut saya, tuatara adalah pengingat bahwa evolusi bukan sekadar garis waktu, tetapi juga cerita panjang tentang keberuntungan, ketahanan, dan adaptasi ekstrem.
Mengapa Tuatara Layak Mendapat Perhatian Dunia
Jika kita melihat seluruh kisahnya, jelas bahwa Tuatara Selandia Baru adalah spesies yang tidak hanya penting bagi ekologi pulau, tetapi juga bagi seluruh dunia. Ia membawa cerita era dinosaurus ke masa sekarang, menghadirkan pelajaran tentang adaptasi dan ketahanan hidup. Namun, keberadaan reptil ini masih rapuh. Predator, perubahan iklim, dan kerusakan habitat tetap menjadi ancaman besar. Karena itu, saya percaya bahwa menjaga reptil ini bukan hanya urusan Selandia Baru, tetapi juga bagian dari tanggung jawab global. Melindunginya berarti menghormati sejarah kehidupan di Bumi dan memastikan bahwa makhluk yang telah bertahan selama ratusan juta tahun tidak hilang di tangan generasi kita.